Posting pertama setelah kembali ke Indonesia jadi pengennya nulis pake bahasa Indonesia aja. Hahahaha....
Waktu mau pulang rasanya masih setengah-setengah. Setengah seneng soale pulang, ga usah bingung dengan bahasa lagi, ga merasa kedinginan lagi setiap saat. Tapi, setengah ga rela juga klo harus pulang soalnya masih pengen main-main sama temen dari berbagai belahan dunia, merasa nanggung sekali belajarnya, masih banyak tempat yang pengen diliat disana. Nah, tapi mau ga mau tetep harus pulang soalnya masih banyak urusan yang belum beres disini termasuk kuliah.
Sebelumnya disana sudah sempat stress karena selalu terganjal masalah dengan yang namanya bahasa. Di Jepang tentunya orang lebih menguasai bahasa Jepang, itu sudah pasti. Sekarang permasalahannya aku disana dengan kondisi kemampuan bahasa Jepang yang amat sangat cekak. Nah lo! Jadi rasanya pengen pulang aja. Tapi, setelah pulang...kok rasanya beda drastis. Langsung kaget dan kagok melihat kondisi bangsa dan negara sendiri. Kagetnya sudah ga kaget lagi tapi sampe kuaget pol. Kok!? Ya, masalah pertama adalah suhu yang sangat jauh berbeda. Ya sudah jelas lah, waktu pulang dari sana suhu menunjukkan 3 derajat dan tiba di Ngurah Rai dengan laporan suhu di darat 31 derajat. Rasanya langsung lemes ga bisa apa-apa. Terus, sampe di Ngurah Rai pun masih dipalak pula oleh petugas keamanan bandara. Aku tanya arah buat transfer pesawat dan dijawab bahkan dengan ramah sekali diantarkan. Tapi apa yang terjadi setelah itu? "Ya tadi kan sudah dibantu...sekedar uang rokok lah." Dan aku langsung bereaksi *Ha!? WTF!*, ternyata niatnya minta uang toh. Yah salah satu cermin bangsa juga ini rasanya. Kalo dulu aku merasa ya biasalah. Tapi karena tinggal di negara orang yang punya budaya beda jadi langsung shock. Sewaktu di Jepang sebagai orang asing aku selalu dibantu oleh orang sana dengan sangat ramah dan tidak pernah meminta apa-apa. Sesuai dengan apa yang aku pernah tulis sebelumnya kalau mental orang Jepang bukanlah orang yang suka meminta-minta walaupun tidak punya (sesuai dengan tulisan homeless disana).
Hal lain adalah ketika melewati pemeriksaan bea dan cukai. Dibandingkan waktu aku melewati pemeriksaan yang sama di Jepang, petugas di Bali ini sungguh tidak memiliki tata krama dalam melakukan pemeriksaan dan ketika melayangkan pertanyaan-pertanyaan. Dan aku langsung berpikir bahwa hal ini sangat dan sungguh gila. Katanya, bangsa ini adalah bangsa yang sangat sopan. Tapi ketika itu aku langsung bingung, sopan apanya? Bali sebagai ikon dan pintu gerbang Indonesia di dunia pariwisata ternyata tidak memiliki keramahan yang lebih baik. Dengan mengalami hal yang berbeda dalam waktu 6 bulan saja bisa membuat aku mendapat cultural shock di negara sendiri.
Cerita pengalaman buruk di hari kedatangan di tanah air masih belum berakhir. Sesampainya di Bandara Djuanda, Surabaya aku pulang ke kos dengan naik taksi. Tiket sudah dibeli dan dibayar sesuai harga. Seperti biasa, seharusnya diantarkan ke tempat tujuan tanpa ada protes dari sang sopir. Eh, tapi si sopir ini ga tau gimana susah amat dibilangin. Naik taksi sudah jengkel dengan si sopir, sampe tujuan masih dimintai uang lagi. Langsung lah hari pertama dateng ke tanah air bad mood seharian. Apa memang begini bangsa Indonesia?
Pulang ke negara sendiri yang seharusnya senang malah jadi merasa jengkel.