Tuesday, February 2, 2010

Infrastruktur Ramah Manusia

Saya memang bukan seorang ahli dalam hal tata kota ataupun infrastruktur, namun ada sedikit pengalaman pribadi yang ingin saya bagikan bagi kita semua.

Untuk orang-orang yang memiliki kepentingan dalam hal penataan ruang kota dan infrastruktur pernahkah dalam benak anda sekalian untuk membangun sebuah tata ruang kota dan infrastruktur yang ramah manusia?

Hal tersebut nampaknya belum benar-benar dipikirkan secara serius atau mungkin saja sudah namun hanya menjadi sekedar wacana dalam rapat pembangunan ruang dan infrastruktur kota. Tentu saja saya tidak tahu-menahu mengenai permasalahan tersebut. Mungkin ada yang berpikir dan bertanya-tanya mengenai apa yang saya maksud dengan infrastruktur yang ramah manusia. Sebelum menginjak kesitu, pernahkah kita berpikir bahwa kita sebagai manusia yang normal yang sehat secara jasmani juga hidup bersama para penyandang cacat? Mungkin sebagian besar akan menjawab tentu saja. Namun pernahkah kita memikirkan keadaan mereka? Kalau yang satu ini mungkin tidak semua. Perlu kita akui dan sadari bahwa kita yang dikatakan manusia normal sering berlaku egois dan menutup mata terhadap para penyandang cacat dan tambahan satu lagi yaitu para manula. Hal tersebut dapat kita lihat dari bangunan infrastruktur yang negara kita miliki. Apakah sudah terbayang infrastruktur apa saja? Ada banyak! Mungkin dalam pengamatan saya pribadi pun masih ada yang terlewatkan. Kalau begitu mari kita bersama-sama menelaahnya satu persatu.

Yang pertama dan yang kerap saya dan papa saya protes adalah trotoar. Apabila kita perhatikan, banyak trotoar yang tidak layak tersebar dijalanan Indonesia. Mungkin hal ini luput dari perhatian kita karena memang kondisinya yang sudah terbiasa mengenaskan, atau mungkin saja kita hanya menganggap trotoar ini hanyalah sekedar hiasan yang bikin jalan tambah sempit saja. Mungkin ada juga yang berpikir "kenapa kok trotoar itu ga dihancurin aja, kan mending dibuat jalan biar jalanan ga tambah macet?"

Nah, untuk orang yang berpikiran seperti itu dapat dikatakan kepekaan lingkungannya sangat kecil. Perlu diingat, sebelum kendaraan bermotor merajai jalanan saat ini, kaki manusia adalah alat transportasi pertama yang dimiliki oleh manusia untuk berpindah tempat dan masih digunakan hingga saat ini (pastinya dong...). nah karena kaki adalah alat transportasi yang muncul pertama kali maka tentu saja pejalan kaki perlu menjadi prioritas dan paling dihormati di jalan. Kesadaran semacam ini telah muncul di negara-negara maju. Namun untuk negara kita, kesadaran tersebut sepertinya masih nol. Trotoar yang merupakan jalan bagi pejalan kaki sering terlihat tidak layak, menyusahkan, dan sering disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut tentu saja dengan dipakainya ruang publik tersebut untuk berjualan, tidak jarang seluruh bagian trotoar digunakan sebagai tempat jualan sehingga pejalan kaki kerap kali harus turun ke jalanan karena tidak bisa melintasi trotoar tersebut. Nah, ini sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak publik. Namun, kalau para pelanggar ini ditindak, tidak sedikit pihak yang mengecam pemerintah. Mungkin cara yang dilakukan oleh pemerintah dalam menindak salah, namun tindakan penggusuran perlu dilakukan untuk menjaga hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini hukum dan peraturan perlu ditegakkan dan sanksi perlu diberikan secara tegas, tidak ada tawar-menawar.

Kemudian permasalahan yang lain berkaitan dengan trotoar adalah tidak layak dan menyusahkan. Pasti sering kita jumpai trotoar yang rusak dijalanan baik itu dalam kota maupun luar kota. Kerusakan itu bisa disebabkan oleh tidak adanya perawatan atau bekas galian yang tidak dirapikan. Hal ini sangat membahayakan pengguna jalan. Mereka dapat tersandung oleh paving yang mencuat atau terpeleset akibat trotoar yang bergelombang. Mungkin banyak korban akan muncul dari para manula. Selain itu, trotoar yang kita miliki kebanyakan amat sangat menyusahkan pejalan kaki. Hanya trotoar di jalan besar sebuah kota besar saja yang memenuhi syarat trotoar yang ramah manusia. Misalnya saja di sekitar daerah Bundaran Grand Indonesia. Bagaimana menyusahkannya? Jawabannya sederhana, trotoar yang kita miliki terlalu tinggi sehingga menyulitkan para manula untuk menaikinya.

Selain itu, pernahkah kita juga berpikir bahwa tidak semua pengguna jalan khususnya pejalan kaki dapat melihat? Mungkin hal ini luput dari pengamatan kita. Sering kita melupakan mereka. Apakah ada solusi untuk para tunanetra ini? Tentu saja ada! Pada trotoar yang kita bangun seharusnya memiliki semacam tempat pijakan atau dalam istilah saya stepping pad (saya tidak tahu istilah untuk hal ini namun bisa saya jelaskan). Stepping pad yang saya maksud memiliki dua macam model, yang pertama stripe panjang dan yang kedua berupa dots atau titik-titik. Stripe panjang seperti batang memberitahukan bahwa kita dapat berjalan lurus, sedangkan yang berupa titik-titik berarti berhenti dan berputar. Hal ini tentu saja sangat membantu para tunanetra agar tidak keluar jalur sehingga dapat membahayakan jiwanya. Misalnya trotoar tersebut berujung pada sebuah perlintasan lalu lintas. Berbahaya bukan bila mereka tidak mengetahuinya?

Nah, stepping pad tersebut hampir tidak ada di trotoar yang ada di Indonesia. Ini berarti kita belum sepenuhnya menyadari bahwa kita juga tinggal dengan mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Hal ini juga berarti, kita sebagai manusia normal telah mengebiri hak para penyandang keterbatasan fisik tersebut. Nah, terlihat kan kalau ke-egoisan kita muncul? Sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat, sudah layak dan sepantasnya para penyandang cacat ini mendapatkan perlakuan yang baik dan layak. Kasarannya, mereka ini bayar pajak ke negara juga sama besar lho dengan orang-orang normal.

OK, kalau begitu sekarang menurut anda semua apalagi infrastruktur yang harus ramah manusia? Mari kita diskusikan hal ini.